Menakar Integritas Kapolri LSP Soal Ikan Busuk Mulai dari Kepalanya

Www.InfoGemanusantara.com

 

_Oleh: Wilson Lalengke_

Jakarta – Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Listyo Sigit Prabowo (Kapolri LSP), di depan para pimpinan Polri pernah berujar bahwa ‘ikan busuk mulai dari kepalanya’. Pengandaian itu disampaikannya sebagai ilustrasi bahwa jika anak buah dari para pimpinan Polri tidak becus, tidak profesional, bahkan berperilaku bejat, maka itu pertanda pimpinannya yang terlebih dahulu berperilaku demikian. Buruknya perilaku pemimpin menyebabkan memburuknya organisasi yang dipimpinnya. Untuk mengatasi agar ikan tidak membusuk seluruh badan, maka kepalanya harus diamputasi, dipotong, dan dibuang. Lebih cepat lebih baik, mengirimkan ucapan populer Jusuf Kalla.

“Ada pepatah, ikan busuk mulai dari kepala, kalau pimpinannya bermasalah, bawahannya akan bermasalah juga. Pimpinan harus jadi teladan sehingga bawahannya akan meneladani. Karena kita tidak mungkin diikuti jika kita tidak memulai yang baik, kita tidak mungkin menegur jika tidak jadi teladan, harus mulai dari pemimpin atau diri sendiri,” ujar Kapolri LSP waktu itu.

Berita terkait di sini: Kapolri: Ikan Busuk Mulai dari Kepala, Maksudnya Begini (https://www.kompas.tv/nasional/226558/kapolri-ikan-busuk-mulai-dari-kepala-maksudnya-begini)

Pernyataan Kapolri tersebut cukup bagus. Setidaknya, hal itu akan mengingatkan para pimpinan Polri untuk melakukan yang dijelaskan dengan baik, profesional, dan lebih dari itu mereka juga harus bermoral, berahlak, dan berkelakuan baik. Jika tidak, maka para pimpinan di satuan-satuan dan unit-unit kerja Polri akan mendapatkan sanksi pengiriman dari yang dilekatkan kepada pimpinan, bahkan dapat saja dihentikan dari institusi Polri.

Namun demikian, peribahasa ‘ikan busuk mulai dari kepalanya’ sebenarnya merupakan pedang yang seharusnya juga, bahkan lebih, mengarah kepada sang Kapolri sendiri. Ketika lembaga yang dipimpinnya dipenuhi para gangster mafia hukum, mafia narkoba, mafia judi online, mafia BBM, mafia tambang ilegal, mafia barang selundupan, dan berbagai perangai mafioso bejat lainnya, maka seharusnya Kapolri LSP sadar diri bahwa lembaganya busuk dimulai dari kepalanya, yakni Kepala Polri alias Kapolri alias dirinya sendiri.

Berbagai kasus yang melibatkan para jenderal polisi seharusnya cukup menjadi indikator bahwa Polri sudah sangat buruk dan tidak layak dipertahankan. Bayangkan saja, Jenderal bintang 3, yang artinya hanya satu tingkat di bawah Kapolri yang bintang 4, diduga terlibat dalam kasus kejahatan penambangan ilegal di Kalimantan Timur dan di berbagai wilayah pertambangan lainnya. Parahnya lagi, untuk menyelamatkan sang bintang 3 itu, anak buahnya bernama Ismail Bolong bersama anak-istrinya dijadikan tumbal atas kasus tersebut. Kebejatan jenis apa yang pantas dilabelkan ke para oknum jenderal polisi macam itu?

Rangkaian kasus narkotika yang melibatkan para perwira Polri marak terjadi selama bertahun-tahun dan terkesan dipelihara oleh lembaga penegak hukum ini. Dari data yang mulai terungkap dalam 2-3 tahun terakhir, para wereng coklat yang terlibat mafia narkotika mulai dari oknum mantan kapolri, kapolda, kapolres, dan bahkan kadivporpam. Belum terbilang para kasat dan kanit narkoba yang tersebar di seantero nusantara. Berkaca dari kasus Tedy Minahasa, anggota Polri tidak lagi hanya sekedar sebagai pengguna dan backing para bandar, tetapi mereka adalah bandar itu sendiri. Tingkat internasional pula. serupa juga pernah disuarakan oleh anggota DPR RI yang mengatakan ‘dari sepuluh bandar narkoba, delapan adalah aparat’.

Korban-korban dari masyarakat berjatuhan setiap saat, baik mati overdosis dan ketergantungan maupun dibunuh oleh para geng mafia narkotika. Para korban barang haram tersebut yang masih hidup terpenjara dan menjalani rehabilitasi tak terkira banyaknya. Mereka adalah obyek penderita yang menjadi korban langsung dari perilaku bejat para mafia narkoba berpakaian aparat. Tragedi Vina Cirebon hanyalah titik kecil dari gunung es kasus serupa yang tidak terdeteksi oleh publik.

Kebejatan dalam bentuk kekerasan domestik di kalangan anggota Polri juga mengibarat bintang bertaburan di langit. Tidak terhitung jumlahnya. Kasus Polwan Rusmini yang dizalimi suami yang adalah polisi hingga hari ini tidak diselesaikan dengan benar sesuai hukum yang berlaku. Apalagi dari data yang ada ternyata gaji yang bersangkutan selama 8 tahun tidak diunduh, hilang dimakan hantu. Tragedi Polwan Rusmini juga hanyalah satu titik kecil dari sekian banyak kebejatan anggota Polri terhadap keluarganya. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) nyaris tidak berlaku di kalangan anggota Polri. Akhirnya Polwan Mojokerto, Briptu Fadhilatun Nikmah, muncul dengan caranya sendiri menghukum polisi yang adalah suaminya sendiri dengan caranya sendiri.

Belum lagi jika kita menyoroti soal kriminalisasi rakyat yang sungguh sangat sangat banyak. Delapan orang yang ditumbalkan dalam kasus Vina Cirebon, sekali lagi, hanyalah setitik dari sekian tak terhitung korban kriminalisasi aparat Polri. Jika Anda memiliki waktu senggang, silakan berkunjung ke Lapas dan Rutan terdekat di wilayah masing-masing. Anda mungkin tercengang dengan fakta bahwa maksimal hanya 20 persen penghuni penjara-penjara itu yang layak dipidana. Selebihnya adalah orang baik-baik yang sedang mengalami ‘nasib baik’ dipindahkan domisili saja. Semua itu boleh terjadi karena kebobrokan hukum penerapan di negeri ini yang diawali dari bobroknya mentalitas aparat Polri.

Uniknya, para kriminal sejati berkeliaran bebas di luar penjara. Jumlahnya sangat banyak. Minimal lebih dari 70 persen dari para pejabat dan aparat di negara ini adalah pelaku tindak kriminal yang mesti dipidana. Mereka tidak menyentuh hukum. Uang dan kekuasaan menyelamatkan para penjahat itu dari jeratan hukum. Contoh kecil saja, laporan polisi tentang dugaan korupsi dan atau penggelapan dana hibah BUMN yang melibatkan Kementerian BUMN dan para dedengkot koruptor pengurus pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Hendry Ch Bangun cs, hingga hari ini masih mangkrak di Bareskrim Polri.

Kejahatan yang dilakukan para anggota Kepolisian Indonesia sudah sangat masif dan merata, di semua wilayah di semua tingkatan. Lelaku jahat tersebut tidak lagi dapat diklasifikasikan sebagai perilaku oknum anggota Polri. Pasalnya, di hampir semua kasus yang melibatkan anggota Polri, baik dalam penanganan kasus maupun jaringan mafioso yang dilakukan, umumnya terjadi dalam suatu sistem yang terstruktur rapi dan koordinasi yang kuat, baik secara vertikal antar bawahan-atasan, maupun horizontal antar unit dan sub unit. Saling mendukung, memback-up, dan melindungi adalah SOP yang tak tertulis di antara mereka.

Kondisi Polri sebagaimana diutarakan di atas seharusnya menjadi bukti faktual bahwa ikan paus peliharaan Pemerintah Indonesia, yang bernama Kepolisian Republik Indonesia sudah membusuk parah. Ibarat kanker, penyakit yang diidap institusi yang dibiayai ratusan triliun uang rakyat setiap tahunnya ini sudah pada stadium level 5, pernafasan, dan hampir tidak mungkin bisa diobati dengan terapi apapun juga.

Bagi saya, jika Kapolri LSP menghayati apa yang dia sampaikan di depan jajarannya kala itu, maka sang pengucap ‘ikan busuk mulai dari kepalanya’ ini seharusnya sudah harakiri alias bunuh diri. Minimal dia secara gentlemen mengakui bahwa dirinya gagal menjadi kepala ikan yang baik, sehat, dan berizi untuk bangsa ini. Selanjutnya dia meminta maaf kepada rakyat Indonesia dan mengudurkan diri dengan cara yang terhormat.

Tatkala Kapolri LSP tidak mampu melakukannya, berarti integritas sang jenderal bintang 4 itu sangat rendah. Sebab integritas menuntut seseorang memiliki sifat jujur ​​dan mempunyai prinsip moral yang kuat, konsisten terhadap apa yang diucapkan. Integritas harus menyiratkan bukan saja sifat dapat dipercaya, tetapi harus berada pada tingkat karakter di mana seseorang tidak mampu berbohong terhadap suatu amanah, tanggung jawab, atau janji. Genaplah kata Gusdur, ‘hanya ada tiga polisi jujur ​​di Indonesia: polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng’.(*)

_Penulis adalah Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, lulusan pasca sarjana bidang studi Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, dan bidang studi Applied Ethics dari konsorsium Utrecht University, The Netherland, dengan Linkoping University, Swedia._

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version